Hindari Riya’ dalam Ibadah: Menjaga Keikhlasan di Bulan Ramadhan
Dalam menjalankan ibadah, sering kali seseorang tidak sepenuhnya melakukannya dengan niat yang tulus karena Allah. Sebagian justru menjadikannya sebagai ajang untuk tampil lebih religius, menarik perhatian, atau membangun citra diri. Fenomena ini dikenal sebagai riya’, sebuah sikap yang dapat menghilangkan esensi ibadah dan menjadikannya sia-sia. Bahkan, Imam Al-Ghazali menggolongkan riya’ sebagai salah satu penyakit hati yang bersifat destruktif.
Sebagai seorang Muslim, penting untuk selalu menjaga niat dalam beribadah, terlebih di bulan Ramadhan yang penuh dengan kesempatan untuk meraih pahala. Berpuasa, membaca Al-Qur’an, dan bersedekah merupakan amalan yang sangat dianjurkan selama bulan suci ini. Namun, banyaknya ibadah yang dilakukan tidak serta merta menghilangkan potensi riya’. Puasa, misalnya, bisa menjadi ajang pamer jika seseorang melakukannya bukan karena Allah, melainkan demi mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Rasulullah SAW telah memperingatkan bahaya riya’ dalam ibadah, sebagaimana dalam hadis riwayat Ahmad:
“Barang siapa berpuasa dengan niat riya’, maka ia telah berbuat syirik.” (HR Ahmad)
Peringatan ini menjadi pengingat penting agar umat Islam benar-benar mengikhlaskan niat dalam beribadah, terutama saat Ramadhan. Tradisi seperti membaca Al-Qur’an, berbagi takjil, dan shalat tarawih harus dilakukan dengan tujuan murni untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk pamer kepada sesama.
Untuk menghindari riya’, para ulama menawarkan beberapa cara agar ibadah tetap ikhlas. Imam As-Syatibi menekankan bahwa seseorang harus membersihkan niatnya dari kepentingan pribadi. Ia menyatakan bahwa para ahli ibadah sejati selalu berusaha menyucikan amal mereka dari tujuan duniawi. Mereka lebih mengutamakan amalan yang berat bagi jiwa atau tidak memberikan keuntungan pribadi, sehingga ibadah benar-benar dilakukan hanya karena Allah.
Tanpa niat yang murni, ibadah yang dilakukan berisiko menjadi sia-sia. Mayoritas ulama berpendapat bahwa untuk mencapai keikhlasan, seseorang harus menekan kepentingan pribadi dan hawa nafsunya. Ibadah seharusnya bukan menjadi alat untuk mencari perhatian atau pujian dari orang lain.

Pada akhirnya, seseorang yang ikhlas dalam ibadah akan senantiasa merasa dalam pengawasan Allah. Seperti yang disebutkan dalam hadis Shahih Al-Bukhari:
“Beribadahlah seakan-akan engkau melihat Allah. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihatmu.” (HR Al-Bukhari)
Kesadaran ini akan membantu menjaga kemurnian hati dan menjauhkan diri dari riya’. Kelalaian dalam mengingat pengawasan Allah dapat membuat ibadah menjadi sia-sia dan memperburuk kondisi hati seseorang. Oleh karena itu, semoga kita senantiasa dapat beribadah dengan penuh keikhlasan, terutama di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam.