Assalamu’alaikum wr wb. Bolehkah seorang awam atau orang yang tidak begitu pandai tentang ilmu agama menggabungkan beberapa pendapat dari empat mahzab berbeda demi kemudahan dalam beragama dan mengindari penyakit bisikan setan (was-was)?
Seperti mengikuti pendapat anjing itu suci, bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir itu tidak najis, menelan dahak saat puasa tidak membatalkan, najis hukmiyah tidak menyebar meskipun bersentuhan dengan sesuatu yang basah, dan semisalnya.
Karena saya sendiri mengalami beberapa masalah was-was dengan hal-hal tersebut. Saya sudah mencoba untuk mengabaikan was-was itu, tapi tetap saja ada yang mengganjal di hati. Seperti pikiran negatif, misalnya bagaimana jika selama ini shalat, puasa, dan ibadah-ibadah saya tidak diterima oleh Allah karena ada hal yang membuatnya tidak sah, sehingga ada timbul sedikit rasa malas dalam beribadah. Terima kasih.
Jawaban Wa’alaikum salam wr wb. Saudara penanya yang terhormat. Sebelumnya kami sampaikan terimakasih atas pertanyaan yang telah anda sampaikan, hal tersebut menjadi bukti atas kepedulian anda terhadap agama, sebuah kenikmatan yang sangat besar di saat banyak orang tidak begitu memiliki kepedulian terhadap masalah agama.
Dari pertanyaan yang anda sampaikan, dapat kami petakan bahwa apa yang anda sampaikan bisa masuk terhadap dua konsep pembahasan; yakni hukum berpindah-pindah mazhab dan hukum talfiq.
Hukum Berpindah-pindah Mazhab Seluruh ulama sepakat bahwa seorang Muslim yang bukan mujtahid harus mengikuti pendapat salah satu mujtahid di dalam mengikuti hukum syariat. Para ulama menyebutkan beberapa dalil, di antaranya adalah:
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An-Nahl: 43).
Kemudian, setelah mengikuti seorang mujtahid atau suatu mazhab, apakah ia boleh berpindah mazhab baik sementara atau selamanya?
Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat, menurut Imam An-Nawawi, pendapat yang kuat adalah yang mengatakan boleh berpindah mazhab. Beliau mengatakan:
وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ الدَّلِيلُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ التَّمَذْهُبُ بِمَذْهَبٍ، بَلْ يَسْتَفْتِي مَنْ شَاءَ، أَوْ مَنِ
اتَّفَقَ، لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَلَقُّطٍ لِلرُّخَصِ
Artinya, “Pendapat yang sesuai dengan dalil adalah tidak wajib mengikuti satu madzhab tertentu, ia boleh meminta fatwa pada siapapun yang ia kehendaki, atau siapapun yang ia temui, tetapi dengan syarat tidak tatabbu’ rukhash (mengambil pendapat yang ringan-ringan dari setiap madzhab).” (Raudhatut Thalibin, [Beirut, Al-Maktabul Islami; 1991], juz XI, halaman 117).
Ibnu Najjar Al-Futtuhi, seorang ulama mazhab Hanbali menjelaskan secara detail tentang maksud dari tatabbu’ rukhash, beliau menjelaskan:
يحرم عليه تَتَبُّعُ الرُّخَصِ وَهُوَ أَنَّهُ كُلَّمَا وَجَدَ رُخْصَةً فِي مَذْهَبٍ عَمِلَ بِهَا، وَلا يَعْمَلُ بِغَيْرِهَا فِي ذَلِكَ الْمَذْهَبِ
Artinya, “Tatabbu’ rukhash adalah perbuatan seseorang yang setiap kali menemukan pendapat yang ringan di suatu madzhab, ia mengikutinya, dan tidak mengikuti pendapat madzhab tersebut dalam hal lain.” (Syarhul Kaukabil Munir, [Riyadh, Maktabah Obeikan: 1997], juz IV, halaman 577).
Jika melihat deskripsi pertanyaan yang anda sampaikan, tampak bahwa alasan anda mengikuti pendapat dari berbagai mazhab adalah karena ada hajat yaitu mengatasi perasaan waswas. Karenya, hal tersebut bukan termasuk tatabbu’ rukhash dan boleh dilakukan.
Hukum Talfiq Tema talfiq merupakan salah satu pembahasan yang sangat banyak dibicarakan para ahli fiqih dan ushul fiqih era muta’akhirin hingga sekarang. Pembahasan tentang tema tersebut sangat erat kaitannya dengan pembahasan mengenai taqlid dan ihdatsu qaulin tsalits (mengeluarkan pendapat fiqih yang belum pernah ada sebelumnya), yang mana kedua tema terakhir ini juga banyak dibicarakan oleh para ulama. Bisa dikatakan pembahasan mengenai talfiq merupakan pembahasan yang cukup rumit dan sangat panjang. Untuk menyederhanakan, mari kita bahas poin-poin pokok dari talfiq. Syekh Muhammad Sa’id Al-Bani (wafat 1351 H) mendefinisikan talfiq sebagai berikut:
الإتيان بكيفية لا يقول بها مجتهد، وذلك بأن يلفق في قضية واحدة بين قولين أو أكثر يتولد منها حقيقة مركبة لا يقول بها أحد
Artinya, “Talfiq adalah melakukan sesuatu dengan cara yang tidak ada satu pun mujtahid melegalkannya. Yakni dengan menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah perkara yang melahirkan sebuah kesimpulan yang tidak ada satupun mujtahid yang melegalkan.” (‘Umdatut Tahqiq fit Taqlidi wat Talfiq, [Damaskus, Hukumah Dimasyq: 1923], halaman 91-92).
Ulama berbeda pandangan dalam menggambarkan dan menghukumi talfiq, berikut ini pendapat beberapa ulama ahli fiqih:
1. Ibnu Hajar Al-Haitami Dalam salah satu fatwa beliau menjelaskan keharaman talfiq. Beliau memberi contoh sebagai berikut:
كَأَنْ مَسَّهُ كَلْبٌ فَلَمْ يُسَبِّعْ ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ فِي وُضُوئِهِ وَصَلَّى كَانَتْ صَلَاتُهُ بَاطِلَةً بِالْإِجْمَاعِ لِأَنَّهُ لَمْ يَجُزْ عَلَى مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ وَحْدَهُ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – وَلَا عَلَى مَا قَالَهُ مَالِكٌ وَحْدَهُ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ
Artinya, “Seperti halnya dia tersentuh atau menyentuh anjing, lalu dia tidak membasuhnya tujuh kali karena mengikuti mazhab Maliki yang mengatakan tidak najis. Kemudian dia wudhu dengan mengusap sebagian kepala karena mengikuti mazhab Syafi’i. Lalu dia shalat, maka shalatnya ini tidak sah. Karena menurut mazhab Syafi’i dia shalat dalam keadaan belum suci dari najis anjing, sedangkan menurut mazhab Maliki wudhunya tidak sah karena hanya mengusap sebagian kepala, tidak seluruhnya.” (Fatawal Fiqhiyyah Al-Kubra, [Al-Maktabatul Islamiyyah], juz IV, halaman 76).
2. Ibnu Ziyad Ibnu Ziyad adalah ulama yang hidup satu kurun dengan Ibnu Hajar. Ibnu Ziyad juga memiliki pendapat yang sama mengenai talfiq, yakni haram. Namun berbeda dalam menggambarkan talfiq itu sendiri, sebagaimana dikutip oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari:
إذا توضأ ولمس تقليدا لأبي حنيفة وافتصد تقليدا للشافعي ثم صلى فصلاته باطلة لاتفاق الإمامين على بطلان ذلك وكذلك إذا توضأ ومس بلا شهوة تقليدا للإمام مالك ولم يدلك تقليدا للشافعي ثم صلى فصلاته باطلة لاتفاق الإمامين على بطلان طهارته بخلاف ما إذا كان التركيب من قضيتين فالذي يظهر أن ذلك غير قادح في التقليد كما إذا توضأ ومسح بعض رأسه ثم صلى إلى الجهة تقليدا لأبي حنيفة فالذي يظهر صحة صلاته لان الإمامين لم يتفقا على بطلان طهارته فإن الخلاف فيها بحاله لا يقال اتفقا على بطلان صلاته لانا نقول هذا الاتفاق ينشأ من التركيب في قضيتين
Artinya, “Ketika seseorang wudhu kemudian menyentuh lawan jenis yang bukan mahram dengan mengikuti mazhab Hanafi, dan melakukan bekam dengan mengikuti mazhab Syafi’i, lalu ia shalat, maka shalatnya tidak sah. Karena kedua mazhab sepakat atas batalnya wudhu orang tersebut.
Menurut mazhab Syafi’i wudhunya batal karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahram, menurut mazhab Hanafi batal karena melakukan bekam.
Begitu pula ketika seseorang wudhu dengan tidak menggosok anggota wudhu karena mengikuti mazhab Syafi’i, kemudian menyentuh lawan jenis yang bukan mahram tanpa syahwat dengan mengikuti mazhab Maliki, lalu ia shalat, maka shalatnya tidak sah. Karena menurut mazhab Syafi’i wudhunya batal, sedangkan menurut mazhab Maliki wudhunya tidak sah.
Berbeda jika kesimpulan tidak sah tersebut berangkat dari dua permasalahan, seperti orang yang wudhu dengan mengusap sebagian kepala karena mengikuti mazhab Syafi’i dan shalat dengan tatacara mazhab Hanafi, maka shalatnya sah. Karena kedua mazhab tidak sepakat atas batalnya wudhu orang tersebut.” (Fathul Mu’in, [Beirut, Dar Ibn Hazm: tt], halaman 615).
Ibnu Ziyad membedakan antara contoh pertama dan kedua dengan contoh ketiga. Di mana contoh pertama dan kedua, kedua mazhab sepakat atas batalnya wudhu orang tersebut. Berbeda dengan contoh ketiga, yang mana wudhunya sah menurut mazhab Syafi’i, dan shalatnya sah menurut mazhab Hanafi. Meskipun menurut mazhab Hanafi wudhunya tidak sah, dan menurut mazhab Syafi’i shalatnya tidak sah, namun wudhu dan shalat adalah dua hal berbeda.
3. Syekh Bakhit Al-Muthi’i Dalam catatan kakinya atas Nuhayatus Sul karangan Al-Isnawi, Syekh Bakhit menjelaskan bahwa pembahasan talfiq didasari dari pembahasan ihdatsu qaulin tsalits. Secara singkat, beliau berkesimpulan bahwa talfiq hukumnya boleh selama tidak melanggar ijma’ ulama. Beliau mengatakan
يؤخذ من هذا أن مسألة التلفيق مبنية على مسألة إحداث قول ثالث فهو إنما يمتنع إذا تحقق أن المجموع الذي عمل به مخالف لإجماع جميع المجتهدين بحيث لو وجد مجتهد لم يجز له أن يقول بهذا المجموع وهيهات ان يتحقق ذلك
Artinya, “Dapat disimpulkan bahwa pembahasan mengenai talfiq didasari atas pembahasan ihdatsu qaulin tsalits, yang mana hukumnya dilarang apabila bertemtangan dengan kesepakatan seluruh mujtahid, sekiranya jika ada satu saja mujtahid, ia tidak akan berpendapat demikian. Dan hampir mustahil hal seperti ini terjadi.”
Dalam pandangan Syekh Bakhit, kasus seperti orang yang wudhu tanpa niat dengan mengikuti mazhab Hanafi dan mengusap sebagian kepala dengan mengikuti mazhab Syafi’i, menurut beliau wudhunya sah. Karena meskipun penggabungan kedua mazhab tersebut terjadi pada satu kasus yakni wudhu, namun niat dan membasuh sebagian kepala adalah dua hal berbeda. (Sullamul Wushul ‘ala Nihayatis Sul, [Riyadh, ‘Alamul Kutub: tt], juz IV, halaman 629-630).
Simpulan Dari penjelasan di atas, ada pesan tersirat bahwa para ulama menghendaki agar syariat Islam dapat dijalankan oleh kaum Muslimin dari semua kalangan tanpa merasa kesulitan. Jika dirasa tidak mampu atau kondisi yang ia alami tidak memungkinkan untuk mengikuti pendapat seorang ulama, ia bisa mengikuti pendapat ulama lain yang ia kehendaki. Asalkan dengan memegang prinsip tidak tatabbu’ rukhash, yakni selalu memilih pendapat yang paling ringan setiap kali ada perbedaan pendapat. Wallahu a’lam. Ustadz Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworeo
artikel ini juga telah terbit di www.nuonline.com