Potret Suram Industri Singkong Indonesia dan Solusi Pemulihannya
Kondisi Industri Singkong di Indonesia
Petani singkong lokal mengungkapkan realitas pahit yang tengah dihadapi industri singkong di Indonesia. Potensi keuntungan negara hingga Rp 10 triliun terancam tak dapat dimanfaatkan akibat memburuknya kondisi pertanian singkong di tanah air.
Provinsi Lampung merupakan pusat utama produksi singkong nasional. Pada tahun 2022, Lampung berhasil menghasilkan 6,7 juta ton singkong segar, menyumbang sekitar 40% dari total produksi nasional. Sebagian besar hasil panen, yakni 90%, diserap oleh industri tapioka yang menyumbang devisa negara hingga Rp 10 triliun.
Namun, produksi singkong di Lampung terus menurun selama satu dekade terakhir. Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), Arifin Lambaga, menjelaskan bahwa angka produksi singkong tertinggi tercatat sebesar 9 juta ton pada 2010, tetapi turun drastis hingga kurang dari 7 juta ton pada 2022. Bahkan, pada 2019, produksi hanya mencapai 5 juta ton dengan produktivitas rata-rata 22 ton per hektare.
Rendahnya produktivitas ini diperparah dengan kandungan pati (rendemen) yang sering rendah karena panen dilakukan terlalu cepat. Akibatnya, banyak hasil panen yang tidak terserap industri atau dihargai sangat murah.
Tantangan Industri Tapioka
Industri tapioka memerlukan bahan baku berkualitas tinggi—singkong dengan rendemen tinggi dan bersih dari kotoran. Sayangnya, kebutuhan ini sulit dipenuhi oleh petani kecil. Di sisi lain, harga singkong yang disepakati Pemerintah Provinsi Lampung pada Desember 2024 sebesar Rp 1.400 per kilogram dianggap terlalu mahal oleh pengusaha tepung tapioka. Beberapa pabrik besar bahkan menghentikan produksi, sehingga tidak lagi membeli singkong dari petani.
Langkah Pemulihan untuk Petani dan Industri Singkong
MSI mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah konkret guna menyelamatkan industri singkong, khususnya di Lampung. Berikut adalah solusi yang diusulkan:
- Penyerapan Hasil Panen: Pemerintah perlu menyerap singkong petani yang tidak terserap industri untuk mencegah kerugian lebih besar.
- Dukungan Finansial dan Sarana Produksi: Memberikan akses subsidi pembiayaan, bibit unggul, dan pupuk agar hasil panen berkualitas lebih baik.
- Kesepakatan Harga yang Adil: Pemerintah daerah diharapkan memfasilitasi dialog antara petani dan pelaku industri agar tercapai kesepakatan harga yang saling menguntungkan. MSI mengusulkan harga minimal Rp 1.200 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15%.
Kemitraan Jangka Panjang
Untuk keberlanjutan jangka panjang, MSI mendorong pelaku industri tapioka untuk menjalin kemitraan dengan petani lokal. Dengan demikian, pabrik dapat membina petani untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas singkong sesuai spesifikasi kebutuhan industri. Transaksi pembelian juga diusulkan dilakukan langsung antara petani dan pabrik untuk transparansi yang lebih baik.
Peta Jalan Pengembangan Singkong
MSI mengusulkan pembentukan peta jalan (roadmap) pengembangan industri berbasis singkong dengan melibatkan pemerintah, perbankan, pengusaha, petani, akademisi, serta lembaga swadaya masyarakat. MSI juga mendesak pemerintah pusat menjadikan singkong sebagai komoditas pangan strategis nasional untuk mempercepat kebijakan pengembangannya. Selain itu, investasi pada hilirisasi produk berbahan dasar singkong perlu didorong untuk memperkuat industri tapioka yang sudah ada.
![Kemitraan petani dan industri untuk memajukan singkong lokal.](https://kiblatinfokita.com/wp-content/uploads/2025/01/Leonardo_Anime_XL_Indonesian_Cassava_is_Threatened_Whats_Up_wi_2.jpg)
Dengan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, potensi besar industri singkong Indonesia dapat dioptimalkan. Selain memberikan manfaat ekonomi, langkah ini juga akan membantu memperbaiki taraf hidup petani singkong lokal.
Artikel ini juga telah terbit di www.detik.com