Gambar Ilustrasi Kontroversi Revisi UU TNI dan Ancaman Dwifungsi Militer di IndonesiaGambar Ilustrasi Kontroversi Revisi UU TNI dan Ancaman Dwifungsi Militer di Indonesia
Spread the love

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Banyak pihak mengkhawatirkan potensi kembalinya keterlibatan TNI dalam ranah sipil, yang mengingatkan pada era Dwifungsi ABRI di masa lalu.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Suaedy, menyoroti kebijakan Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berperan dalam memisahkan Polri dari TNI. Ia mengingatkan bahwa pada masa Orde Baru, TNI mencakup tiga angkatan dan Polri dalam satu komando, didukung oleh Golkar sebagai partai politik dominan. “ABRI dan Golkar menjadi pilar otoritarianisme saat itu,” ujar Suaedy kepada NU Online, Sabtu (22/3/2025).

Menurutnya, reformasi menuntut pemisahan peran politik dalam institusi militer, sehingga Gus Dur mengambil langkah tegas dengan menjadikan Polri sebagai institusi independen dan memastikan TNI hanya berfokus pada pertahanan. Salah satu langkah penting yang diambil Gus Dur adalah menunjuk seorang perwira Angkatan Laut sebagai Panglima TNI, yang menjadi preseden dalam sejarah Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat mendorong perubahan orientasi pertahanan, termasuk penguatan maritim dan perbatasan laut.

Suaedy juga menyoroti bagaimana Gus Dur berusaha menciptakan perdamaian di Aceh dan Papua pada periode 1999–2001, meskipun menghadapi tekanan besar dari militer. “Itu adalah salah satu pertarungan terberat antara Gus Dur dan TNI,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa supremasi sipil telah terwujud dengan adanya Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh dan Papua, namun setelah Gus Dur lengser, supremasi sipil mulai mengalami kemunduran.

Sejak era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, keterlibatan TNI dan Polri dalam ranah publik kembali meningkat. “Jika kini ada kritik terhadap peran TNI-Polri di ruang sipil, itu seperti kamuflase belaka. Justru pada era Megawati, pengaruh militer dan kepolisian semakin menguat,” ungkapnya.

Ketua PBNU, Alissa Wahid, juga menyoroti pentingnya menjaga supremasi sipil yang telah diperjuangkan selama lebih dari tiga dekade, sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Ia mengingatkan bahwa Reformasi 98 bertujuan untuk menegakkan supremasi hukum, bukan supremasi kekuatan bersenjata. “Selama 32 tahun kita berjuang untuk mewujudkan supremasi sipil dan supremasi hukum, bukan supremasi senjata,” kata Alissa dalam konferensi pers di STF Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/3/2025).

Alissa menyampaikan kekhawatirannya bahwa revisi UU TNI dapat membuka peluang bagi militer untuk kembali aktif dalam ruang sipil, yang berpotensi mengulang praktik Dwifungsi ABRI di masa lalu. “Meskipun istilahnya bukan lagi Dwifungsi ABRI, jika hasilnya tetap membawa senjata ke ruang sipil, maka esensinya sama saja,” tegasnya.

Polemik mengenai revisi UU TNI ini menjadi peringatan bagi bangsa agar tetap menjaga profesionalisme militer tanpa mengulang sejarah kelam intervensi militer dalam urusan sipil. Perdebatan ini masih terus berlanjut, dengan berbagai pihak yang menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara pertahanan negara dan supremasi sipil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *