Jaringan Gusdurian secara tegas menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai berpotensi menghidupkan kembali konsep Dwifungsi TNI/Polri. Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menekankan bahwa prajurit aktif seharusnya fokus pada tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan negara, bukan terlibat dalam politik atau administrasi pemerintahan.
“Keterlibatan prajurit aktif dalam politik dapat menurunkan profesionalisme dan mengalihkan fokus dari tugas utama mereka sebagai penjaga kedaulatan negara,” ujar Alissa dalam pernyataan tertulis yang diterima NU Online, Rabu (19/3/2025).
Alissa juga menyoroti risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh militer yang memiliki posisi strategis dan kekuatan bersenjata. Menurutnya, hal ini dapat berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta tindakan represif terhadap masyarakat. Selain itu, ia mengkritisi proses pembahasan RUU TNI yang dianggap tidak transparan dan cenderung menghindari pengawasan publik.
RUU TNI Dinilai Mengancam Demokrasi
Jaringan Gusdurian menyoroti bahwa pembahasan revisi undang-undang ini dilakukan dalam fasilitas mewah, di tengah seruan efisiensi yang berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan publik di berbagai sektor.
“Pembahasan ini bukan hanya tidak transparan, tetapi juga mencederai reformasi demokrasi. Jika RUU TNI ini disahkan, maka akan menjadi langkah mundur dan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi,” tegas putri sulung Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Alissa mengajak seluruh masyarakat untuk berperan aktif dalam mengawal demokrasi dan memastikan supremasi sipil tetap dijaga. Ia juga menyerukan kepada seluruh penggerak Gusdurian untuk melakukan konsolidasi nasional bersama jejaring masyarakat sipil guna memantau dinamika sosial serta menyiapkan strategi dalam menghadapi dampak politik dari revisi UU tersebut.
RUU TNI Dikecam, Pembahasannya Dinilai Tidak Urgen
Dinamika pembahasan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menuai gelombang protes dari berbagai kelompok masyarakat pro-demokrasi. Meskipun menuai kontroversi, RUU ini disebut telah memasuki tahap akhir dan siap dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Alissa mengkritik banyaknya kejanggalan dalam pembahasan ini, termasuk penggunaan hotel mewah sebagai tempat rapat serta penjagaan ketat dari Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia (Koopssus TNI)—pasukan elite yang seharusnya difokuskan untuk menangani aksi terorisme.
“Salah satu kekhawatiran terbesar dari revisi ini adalah kembalinya Dwifungsi ABRI, yang sudah dihapus pada era Presiden Gus Dur,” ungkapnya.
Bahaya Dwifungsi ABRI Bagi Demokrasi
Pada era Orde Baru, Dwifungsi ABRI memberikan militer peran ganda dalam urusan sipil dan pemerintahan. Hal ini membuat tentara memiliki kendali atas berbagai sektor kehidupan, bahkan hingga level pemerintahan daerah seperti pemilihan lurah. Akibatnya, inisiatif dari masyarakat sipil menjadi terhambat karena campur tangan militer dalam berbagai kebijakan.
Menurut Alissa, dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kendali sipil tanpa keterlibatan langsung dalam politik atau pemerintahan. Demokrasi menempatkan warga sipil yang dipilih secara demokratis sebagai pemegang kendali negara, bukan pihak militer.
“Jika batas antara ranah militer dan sipil semakin kabur, maka kontrol sipil atas angkatan bersenjata akan melemah. Hal ini akan mengancam stabilitas demokrasi dan supremasi sipil,” pungkasnya.